Fariduddin Attar lahir di Nishapur, dekat
Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan theosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) di sekitar makam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku-bukunya, pada saat remaja ia bekerja di took obat atau apotek milik sang ayah. Attar bertugas untuk meracik obat dan mengurus pasien.
Ia lalu mewarisi took obat itu, setelah sang ayah wafat. Oleh Attar, apotek itu dikembangkan dengan membuka usaha parfum. Karena terkenal, hamper setiap hari apoteknya kedatangan puluhan pasien, termasuk yang berasal dari kalangan fakir miskin.
Suatu hari seorang sufi tua yang fakir singgah ke apoteknya. Ketika mecium aroma wewangian dari apotek Attar, ia menangis tersedu-sedu.
Menduga si fakir akan meminta-minta, Attar pun mencoba mengusirnya. Namun si fakir bersikukuh tak mau pergi dari tempat usaha Attar. Masih dengan linangan air mata, ia berkata, “Tak sulit bagiku untuk meninggalkan apotekmu hari ini dan dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Yang melekat di badanku hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu akan bisa meninggalkan semua harta yang kamu miliki ini.”
Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini.” Sebelum Attar usai menjawab, fakir tua renta itu meninggal seketika.
Dalam riwayat lain diceritakan, fakir tua itulah yang pertama kali mengajukan pertanyaan kepada Attar, “Dapatkah kau tentukan kapan kau meninggal dunia?”
“Tidak,” jawab Attar kebingungan.
“Aku dapat,” ucap kakek tua itu. “Saksikan di hadapanmu bahwa aku akan mati sekarang juga.” Dan saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan mengembuskan napasnya yang terakhir.
Attar terperanjat. Ia begitu mendalam hayati peristiwa itu. Sehari kemudian setelah menguburkan fakir itu selayaknya, Attar menyerahkan penjagaan took-tokonya yang banyak di Nishapur kepada sanak saudaranya, lantas berguru kepada Syaikh Ruknuddin Akkah dari Thariqah Kubrawiyyah. Setelah itu ia mengembara sendirian tanpa membawa uang sepeser pun menuju Makkah, Damaskus, Turkistan dan
Setelah merasa cukup berpetualang, dalam usia 35 tahun, Attar pulang ke Nishapur dan kembali membuka tokonya sambil mengajarkan ilmu tasawuf dan memberikan pelatihan-pelatihan ruhaniah. Ia juga membuka sejumlah zawiyah. Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula ketermasyurannya sebagai seorang sufi.
Yang menarik, suatu ketika Attar pernah didatangi seorang anak kecil berusia
Manthiq At-Thayr
Setelah menjadi sufi, Attar dikenal penduduk Nishapur sebagai tokoh yang mahir bercerita. Ia melayani pelanggannya sambil menceritakan kisah-kisah hikmah yang memikat. Bila sedang tidak ada pelanggan, ia menulis cerita-cerita tersebut di sebuah buku dalam bentuk prosa dan puisi yang indah serta kaya hikmah.
Di antara karya Attar yang terkenal ialah Tadzkirat al-Awliya, yang berisi ucapan para sufi. Inilah buku satu-satunya yang berbentuk prosa. Selain itu ia juga menhasilkan beberapa buku puisi, Asrar Nameh (Buku tentang rahasia), berkisah tentang keluarga Maulana Jalaluddin Rumi yang singgah di Nishapur ketika hendak ke
Tidak ada komentar:
Posting Komentar