Selamat Datang Para Peziarah

Kadang jiwa kita rapuh, kadang batin kita resah, kadang nurani kita galau, lalu kita merenung sejenak, kembali ke Quran, kembali ke hadist, laluke wajah wajah tulus para ulama, para guru kita dimasalalu, kadang kita kembali bergairah menatap hidup kedepan

Rabu, 30 Juni 2010

Tentang Attar

Fariduddin Attar lahir di Nishapur, dekat Iran, sekitar tahun 1142. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim. Attar juga dikenal sebagai saudagar parfum atau minyak wangi yang kaya raya. Dari istilah parfum inilah, julukan Attar ia peroleh.

Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan theosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) di sekitar makam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku-bukunya, pada saat remaja ia bekerja di took obat atau apotek milik sang ayah. Attar bertugas untuk meracik obat dan mengurus pasien.

Ia lalu mewarisi took obat itu, setelah sang ayah wafat. Oleh Attar, apotek itu dikembangkan dengan membuka usaha parfum. Karena terkenal, hamper setiap hari apoteknya kedatangan puluhan pasien, termasuk yang berasal dari kalangan fakir miskin.

Suatu hari seorang sufi tua yang fakir singgah ke apoteknya. Ketika mecium aroma wewangian dari apotek Attar, ia menangis tersedu-sedu.

Menduga si fakir akan meminta-minta, Attar pun mencoba mengusirnya. Namun si fakir bersikukuh tak mau pergi dari tempat usaha Attar. Masih dengan linangan air mata, ia berkata, “Tak sulit bagiku untuk meninggalkan apotekmu hari ini dan dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Yang melekat di badanku hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu akan bisa meninggalkan semua harta yang kamu miliki ini.”

Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini.” Sebelum Attar usai menjawab, fakir tua renta itu meninggal seketika.

Dalam riwayat lain diceritakan, fakir tua itulah yang pertama kali mengajukan pertanyaan kepada Attar, “Dapatkah kau tentukan kapan kau meninggal dunia?”

“Tidak,” jawab Attar kebingungan.

“Aku dapat,” ucap kakek tua itu. “Saksikan di hadapanmu bahwa aku akan mati sekarang juga.” Dan saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan mengembuskan napasnya yang terakhir.

Attar terperanjat. Ia begitu mendalam hayati peristiwa itu. Sehari kemudian setelah menguburkan fakir itu selayaknya, Attar menyerahkan penjagaan took-tokonya yang banyak di Nishapur kepada sanak saudaranya, lantas berguru kepada Syaikh Ruknuddin Akkah dari Thariqah Kubrawiyyah. Setelah itu ia mengembara sendirian tanpa membawa uang sepeser pun menuju Makkah, Damaskus, Turkistan dan India.

Setelah merasa cukup berpetualang, dalam usia 35 tahun, Attar pulang ke Nishapur dan kembali membuka tokonya sambil mengajarkan ilmu tasawuf dan memberikan pelatihan-pelatihan ruhaniah. Ia juga membuka sejumlah zawiyah. Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula ketermasyurannya sebagai seorang sufi.

Yang menarik, suatu ketika Attar pernah didatangi seorang anak kecil berusia lima tahun. Dengan firasatnya yang tajam, ia meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Dan beberapa puluh tahun kemudian terbukti, anak kecil yang bernama Jalaluddin Rumi itu menjadi sufi besar.

Manthiq At-Thayr

Setelah menjadi sufi, Attar dikenal penduduk Nishapur sebagai tokoh yang mahir bercerita. Ia melayani pelanggannya sambil menceritakan kisah-kisah hikmah yang memikat. Bila sedang tidak ada pelanggan, ia menulis cerita-cerita tersebut di sebuah buku dalam bentuk prosa dan puisi yang indah serta kaya hikmah.

Di antara karya Attar yang terkenal ialah Tadzkirat al-Awliya, yang berisi ucapan para sufi. Inilah buku satu-satunya yang berbentuk prosa. Selain itu ia juga menhasilkan beberapa buku puisi, Asrar Nameh (Buku tentang rahasia), berkisah tentang keluarga Maulana Jalaluddin Rumi yang singgah di Nishapur ketika hendak ke Konya.

Ada juga yang berjudul Ilahi Nameh (Buku Ketuhanan), berkisah tentang zuhud. Buku lainnya antara lain Musibat Nameh (Kitab Kemalangan), Syarhul Qalb (Penjelasan mengenai kalbu), dan Kasyful Asrar (Penyingkap Rahasia), tetapi yang paling terkenal adalah Manthiq At- Thayr, yang mengisahkan perjuangan para burung untuk mencari sosok Simurgh, sebagai simbol pencarian kebenaran para sufi. AIS*AP

Sumber: Majalah Alkisah No.13/Tahun VI/16-19 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar